Minggu, 16 Desember 2007

Fwd: [Republika Online] Obligasi Negara Senilai Rp 2 Triliun Dilelang 4 Desember




28 Nopember 2007   16:46:00
Obligasi Negara Senilai Rp 2 Triliun Dilelang 4 Desember

Jakarta-RoL -- Pemerintah akan melelang obligasi negara dengan jumlah indikatif sebesar Rp 2 triliun pada 4 Desember 2007. Kepala Biro Humas Depkeu, Samsuar Said, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/11), menyebutkan jumlah indikatif itu untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2007.

Obligasi negara yang akan dilelang adalah obligasi negara tanpa kupon seri ZC0004 yang jatuh tempo Maret 2009 dan obligasi negara dengan bunga tetap 9,5 persen seri FR0027 yang jatuh tempo 15 Juni 2015.

Nominal per unit obligasi negara ZC0004 dan FR0027 sebesar Rp1 juta. Pembayaran kupon FR0027 dilakukan pada 15 Juni dan 15 Desember setiap tahunnya.

Peserta lelang dapat mengajukan penawaran kompetitif dan nonkompetitif. Alokasi non kompetitif untuk seri ZC0004 dan FR0027 adalah sebesar 20 persen.

Pemerintah memiliki hak untuk menjual obligasi negara seri ZC0004 dan FR0027 lebih besar atau lebih kecil dari jumlah indikatif yang ditentukan. antara

is


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=315344&kat_id=21

Fwd: [Republika Online] Korupsi di Indonesia Perlu Ditanggulangi Secara Islam




27 Nopember 2007   19:53:00
Korupsi di Indonesia Perlu Ditanggulangi Secara Islam
Medan-RoL-- Staf pengajar pada Institusi Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatera Utara, Dr. Pagar, MAg mengatakan, korupsi di Indonesia yang semakin merajalela dewasa ini perlu segera ditanggulangi dengan cara Islam.

Penanggulangan korupsi secara Islam itu dengan menggunakan lima pendekatan, yakni pendekatan agama, pendidikan, hukum, sistem dan pendekatan sosial budaya, katanya dalam makalahnya yang diterima ANTARA di Medan, Selasa.

Makalah tersebut disampaikannya pada "Seminar Pendidikan Anti Korupsi" yang diadakan Fakultas Syari'ah IAIN Sumut di Medan, belum lama ini.

Pagar menambahkan, penanggulangan dengan cara Islam harus dengan membumikan Islam itu sendiri, yang pada gilirannya akan sampai ke taraf menjadi Islam kultural yang ditandai dengan lahirnya aktivitas dalam berbagai bentuk sebagai pengejawantahan (manivestasi) dari Islam.

Ia menjelaskan, dalam tataran itu pendekatan agama tidak memadai bila dijadikan hanya sebagai simbol, bahkan sebagai ilmu, tetapi harus sebagai kesadaran dan keyakinan yang tinggi.

"Pendekatan agama ternyata tidak memadai hanya dengan simbol-simbol keagamaan yang melekat padanya, latarbelakang pendidikan tempat menimba ilmu pengetahuan bahkan banyaknya ilmu agama yang dimiliki, tetapi penghayatan agama itulah yang paling utama," katanya.

Selanjutnya ia menyebutkan, melalui pendekatan pendidikan, sekolah diharapkan bukan hanya sekedar dapat mencerdaskan peserta didiknya tetapi yang lebih penting adalah untuk dapat mencetak SDM yang professional dan mendayagunakan ilmunya sesuai dengan tujuan ideal ilmu itu dipergunakan.

"Kurikulum sekolah harus didesain sampai pada tingkat pemberantasan korupsi," katanya. Sementara itu, dari sisi pendekatan hukum, Indonesia telah memiliki hukum yang dibangun dalam rangka memberantas korupsi, misalnya UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Melalui cara demikian diharapkan akan dapat melahirkan pemerintah yang adil dan bersih," ujarnya.

Meskipun demikian, menurut dia, ternyata pendekatan hukum di Indonesia ini masih dilakukan dalam koridor paradigma kekuasaan. Pendekatan hukum dalam bentuk ini merupakan pendekatan hukum yang feodalis dan diskriminatif, dan hal ini merupakan warisan Belanda yang dipertahankan sampai saat ini.

"Betapa tidak, untuk memeriksa pejabat tinggi negara harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Presiden (pasal 55 UU No22 Tahun 1999). Hal ini akan bisa menjadi tameng dan perlindungan bagi mereka untuk lolos dari jeratan hukum," katanya.

Sedangkan melalui pendekatan sistem, dengan adanya sistem satu atap pengadilan di bawah Mahkamah Agung, tetapi belum berarti telah terbangun sistem hukum yang kondusif di Indonesia.

Sedangkan pendekatan melalui sosial budaya, kebiasaan membawa oleh-oleh bagi seseorang dimana kita mempunyai urusan terhadapnya.

"Tradisi kita melayani orang dengan sikap dan penampilan yang lebih baik dari yang lain karena ada intres tertentu akan membangun suatu paradikma yang keliru," katanya. antara/abi


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=315225&kat_id=23

Fwd: [Republika Online] Program Melawan Kemiskinan Indonesia Terancam 'Gembos'




27 Nopember 2007   18:58:00
Program Melawan Kemiskinan Indonesia Terancam 'Gembos'
Jakarta-RoL-- Di Indonesia, dampak buruk perubahan iklim akan paling dirasakan oleh orang miskin, demikian seperti yang dilaporkan oleh Badan Pembagunan PBB (UNDP), di Jakarta, Selasa.

"Perubahan iklim mengancam akan menyabot perjuangan Indonesia melawan kemiskinan," kata Hakan Bjorkman, Direktur UNDP untuk Indonesia, dalam acara peluncuran laporan terbaru tentang dampak perubahan iklim terhadap Indonesia.

Lebih lanjut Hakan menegaskan, "Orang miskin di seluruh Indonesia sudah dilanda cukup banyak persoalan. Dampak perubahan iklim akan makin menambah tekanan pada mekanisme penanggulangan yang sudah memikul beban lebih."

Diluncurkan menjelang Sidang PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali 3-14 Desember, laporan UNDP ini khusus ingin memberikan gambaran suram mengenai dampak pemanasan global terhadap usaha Indonesia menurunkan angka kemiskinan.

Laporan yang berjudul "Sisi Lain Perubahan Iklim; Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi untuk Melindungi Rakyat Miskinnya" itu menyebutkan, "Kenaikan suhu (global) itu mungkin tidak terlihat terlalu tinggi, tetapi di negara tertentu seperti Indonesia, kenaikan itu dapat memberikan dampak yang parah dan terutama pada penduduk yang paling miskin."

Salah satu pengaruh utama iklim global terhadap Indonesia adalah El-Nino Osilasi Selatan, yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa cuaca ekstrim di dalam negeri.

El Nino berkaitan dengan berbagai perubahan arus laut di Samudera Pasifik yang menyebabkan air laut menjadi panas. Kejadian sebaliknya, arus laut menjadi amat dingin, yang disebut dengan La Nina.

El Nino mendatangkan musim kemarau, sementara La Nina membawa banjir bandang ke Indonesia. Dalam kurun waktu 1844-2006, dari 43 kemarau panjang, sebanyak 37 di antaranya berkaitan dengan El Nino.

Khusus pada tahun 1961-2006 kemarau panjang terjadi semakin kerap, yakni setiap tiga tahun, padahal sebelumnya frekuensi kemarau terjadi 4 tahun sekali.

Perubahan musim dan curah hujan ini mengakibatkan gagal panen yang masif bagi para petani. Sementara kenaikan muka air laut mempercepat erosi di wilayah-wilayah pesisir, memicu intrusi air laut ke air tanah, dan menenggelamkan pulau-pulau kecil.

"Tak seorang pun akan luput dari perubahan iklim. Namun, berbagai pengaruhnya dapat dirasakan lebih parah oleh masyarakat yang paling miskin, mereka yang hidup di wilayah paling pinggiran, yang antara lain rentan terhadap banjir dan longsor," sebut laporan 20 halaman tersebut.

Oleh karena mereka kebanyakan mencari nafkah dengan bertani dan menjadi nelayan, sumber nafkah mereka juga amat rentan terhadap perubahan iklim.

Mereka juga hanya memiliki sumber daya terbatas untuk menanggung bencana sehingga bencana apapun yang menimpa, akan membuat mereka mesti kehilangan harta benda yang seadanya itu.

Pada masa-masa sulit mereka mungkin terpaksa menjual, misalnya tanah mereka, sepeda, atau peralatan pertanian, yang akan membuat mereka makin kesulitan mempertahankan sumber penghidupan mereka.

Kemiskinan yang ditargetkan hendak diturunkan angkanya oleh Indonesia lewat Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) pun terancam gagal pencapaiannya akibat perubahan iklim.

Pada tahun 2004 Indonesia tercatat sebagai negara yang emisi karbon per kapitanya 1,7 ton per tahun, sementara populasi Indonesia menyumbang 3,5 dari keseluruhan penduduk Bumi. antara/abi


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Online_detail.asp?id=315222&kat_id=23

Fwd: [Republika Online] Negara Berpotensi Rugi Rp 1 Triliun




25 Oktober 2007
Negara Berpotensi Rugi Rp 1 Triliun
dia/evy

JAKARTA -- Negara berpotensi dirugikan Rp 1 triliun dari penerimaan pajak. Kerugian tersebut diperoleh dari potensi penerimaan fiskal di Bandara Internasional Soekarno-Hatta yang hilang selama periode 2004-2006.

Potensi berkurangnya penerimaan fiskal ini terungkap dalam data resmi yang disampaikan PT Angkasa Pura (AP) II di sela-sela kunjungan kerja (kunker) Komisi XI DPR ke Bandara Soekarno Hatta, kemarin (24/10).

Berdasarkan data-data yang disampaikan AP II, selama periode 2004-2006 terdapat perbedaan (diskrepansi) data jumlah penumpang tujuan luar negeri melalui Bandara Soekarno Hatta antara BUMN pengelola bandara tersebut dengan data resmi Unit Fiskal Luar Negeri (UFLN) Ditjen Pajak.

Menurut data UFLN Ditjen Pajak jumlah penumpang tujuan luar negeri selama periode tersebut sebanyak 7,75 juta penumpang. Sementara menurut data AP II, dalam periode yang sama, jumlah penumpang tujuan luar negeri mencapai 8,75 juta orang.

Padahal, menurut anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, yang ikut serta dalam kunker, data jumlah penumpang milik UFLN Ditjen Pajak tersebut sudah memasukkan penumpang yang bebas fiskal. Dengan besaran nilai fiskal Rp 1 juta per orang, kata Dradjad, maka potensi penerimaan fiskal yang hilang sepanjang tahun 2004-2006 mencapai Rp 1 triliun. ''Jadi, ada potensi (penerimaan) fiskal yang cukup besar yang hilang,'' ujarnya, kemarin (24/10).

Lebih jauh Dradjad menuturkan, potensi penerimaan fiskal yang hilang ini bisa terjadi karena adanya penyalahgunaan fasilitas bebas fiskal. Penyalahgunaan ini, sambungnya, kemungkinan tidak hanya terjadi di Bandara Soekarno Hatta, namun juga di setiap bandara internasional lainnya yang ada di Indonesia.

''Masalah seperti ini mungkin juga terjadi di Bandara Djuanda Surabaya, Ngurah Rai Bali, dan Polonia Medan,'' paparnya. Diskrepansi ini, tambah Dradjad, kemungkinan besar masih akan terjadi di tahun ini. Namun, tingkat diskrepansinya, diperkirakan akan mengalami penurunan dibanding 2006. ''Tapi ini akan memengaruhi target penerimaan fiskal di 2007 sebesar Rp 1,37 triliun.''

Berdasarkan komparasi data AP II dan UFLN Ditjen Pajak, memang tingkat diskrepansi data jumlah penumpang tujuan luar negeri melalui Bandara Soekarno Hatta dari 2004 hingga 2006 mengalami penurunan. Jika di tahun 2004 tingkat diskrepansinya mencapai 18,4 persen, maka di tahun 2005 turun menjadi 11,5 persen dan pada 2006 turun lagi menjadi tinggal 5,7 persen. ''Tapi nilai nominalnya tetap saja besar, untuk tahun 2006 nilai potensi fiskal yang hilang sekitar Rp 150 miliar.''


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=311284&kat_id=3

Fwd: [Republika Online] Indonesia Inginkan Posisi Lebih Baik




25 September 2007
Indonesia Inginkan Posisi Lebih Baik

NEW YORK -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan Indonesia harus mempunyai posisi tawar lebih baik dalam kerja sama global soal perubahan iklim ( climate change) agar suaranya diperhitungkan. ''Kalau tidak, Indonesia hanya akan menjadi objek dan akan selalu disalahkan dalam masalah lingkungan,'' kata SBY di New York, Ahad (23/9) malam waktu setempat, seperti dilaporkan wartawan Republika, Nasihin Masha.

Kemarin, SBY mengadakan pertemuan untuk mendapat laporan dan sekaligus melakukan persiapan sebelum mengikuti Sidang Majelis Umum PBB yang bertema perubahan iklim dan pemanasan global. Presiden didampingi Menko Kesra, Aburizal Bakrie; Menlu, Nur Hassan Wirajuda; Menneg LH, Rachmat Witoelar; Kepala BKPM, M Lutfi.

Ikut pula Ketua Wantimpres, Ali Alatas; anggota Wantimpres, Emil Salim; Rektor Unpad, Ganjar Kurnia; Rektor Unair, Fasichullisan; anggota DPD, Sarwono Kusumaatmaja; anggota DPR, Airlangga Hartarto; dan Ketua Umum Kadin, MS Hidayat.

Sidang tahunan PBB ke-62 dibuka pada Senin (24/9) pukul 09.00 waktu New York atau pukul 20.00 WIB. SBY mendapat kesempatan memberi pidato pada sidang komisi bertema 'Mitigasi: Mengurangi Emisi dan Stabilisasi Cuaca; Menyelamatkan Masa Depan Bersama'.

Usai sidang komisi, Presiden memimpin pertemuan 'Special Leaders Meeting of Tropical Rainforest Countries'. Pertemuan ini digagas Indonesia dan diikuti 11 negara yang memiliki hutan hujan tropis dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika.

Indonesia, tegas SBY, harus berjuang mendapat pengaruh politik dan posisi tawar lebih baik karena memiliki sejumlah keunggulan. Sebagai negara terbesar kedua pemilik hutan hujan tropis setelah Brasil, Indonesia memiliki kekayaan biodiversity dan sumber-sumber maritim.

Meski, secara tak beruntung, Indonesia menjadi salah satu penyumbang karbondioksida yang besar di dunia. Akibat perubahan iklim, Indonesia juga menderita. Sebagai bukti, saat kemarau menderita kekeringan panjang, dan saat hujan terkena banjir.

Perjuangan mendapatkan posisi lebih baik tersebut agar Indonesia memperoleh keuntungan. ''Posisi yang bagus, suara kita makin didengar, sehingga bisa mendapat keuntungan konkret, seperti dana maupun teknologi.''

Kapasitas Indonesia dalam mengelola hutan pun bertambah. Selain itu, Indonesia juga bisa menuntut debt swap guna membiayai lingkungan.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=308185&kat_id=3

Fwd: [Republika Online] Siapkan Konsep Syariat




28 Agustus 2007
Siapkan Konsep Syariat
rto

JAKARTA -- Menindaklanjuti rekomendasi Silaturahim Ulama se-Nusantara yang menyerukan penegakan syariat Islam di Indonesia, maka menjadi kewajiban bagi partai-partai berasaskan Islam untuk ikut memperjuangkannya lewat parlemen. Bila tidak, berarti selama ini Islam hanya menjadi komoditas politik mereka.

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), Muhammad Alkhaththath, mengatakan, perjuangan menegakkan syariat Islam bisa dilakukan melalui parlemen, asalkan mereka benar-benar menjadikan mimbar parlemen sebagai lahan dakwah. Menjadi tugas ormas Islam pula untuk mendakwahi partai-partai Islam.

''Ada yang bilang tak mungkin. Padahal bisa, dengan catatan anggota parlemen komitmen dengan syariat Islam. Satu catatan lagi, hanya bisa dari partai yang terbina dakwah Islam,'' katanya, usai diskusi tentang khilafah Islam, di Jakarta, Senin (27/8).

Partai Islam juga harus menyiapkan konsep Islam dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dan pertahanan. ''Kalau memang betul-betul mengaku partai Islam harus siapkan konsep dan mengkaji secara syariat. Jangan hanya label Islam saja, tapi harus benar-benar adopsi ide-ide Islam,'' kata Alkhaththath.

Namun dia tak mau mengomentari apakah selama ini partai Islam sudah memperjuangkan ide-ide Islam atau sekadar tempel label Islam. ''Kita berprasangka baik saja,'' ujarnya.

Perjuangan sulit
Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, juga meminta partai-partai Islam di parlemen untuk bersikap tegas dalam masalah syariat dan tak melakukan kompromi. ''Harus tegas partai-partai itu di parlemen. Kalau tak bisa tegas tak perlu jadi partai,'' kata Ba'asyir.

Namun dia mengingatkan, memperjuangkan syariat Islam dalam sistem demokrasi akan sulit. Sebab, bisa saja aturan yang sesuai syariat atau notabene perintah Tuhan, akan divoting dan bisa kalah oleh suara makhluknya.

''Masak perintah Allah kalah dengan 'resep dokter'. Apa ada resep dokter juga divoting?'' ujar Ba'asyir. Sementara Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto, menegaskan perlunya sikap konsisten dari partai-partai Islam untuk memperjuangkan syariat, bukan hanya menjadikannya sebagai komoditas politik.

''Sekarang ini tak jelas, kadang gonta-ganti antara politisasi Islam dengan islamisasi politik,'' kata Ismail. Namun dia sendiri mempertanyakan, apakah mungkin syariat bisa menjadi sistem dominan. Misalnya dalam ekonomi Indonesia yang menerapkan dual system, yaitu ekonomi konvensional dan syariah, padahal keduanya bertolak belakang.

Keduanya bisa hidup berdampingan bila dalam posisi supra struktur dan sub struktur. Tapi terbukti ekonomi Islam selama ini hanya menjadi subordinat sistem ekonomi konvensional.

''Kalau memang begitu kita harus terima syariah menjadi subsistem saja. Tapi ini tak bisa disebut melaksanakan syariah dan juga tak akan pernah menyelesaikan masalah ekonomi,'' tandas Ismail.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=304727&kat_id=3

Fwd: [Republika Online] Pekik 'Merdeka' dari Papua sampai Aceh




18 Agustus 2007
Pekik 'Merdeka' dari Papua sampai Aceh

Menyambut perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-62 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), 17 Agustus 2007, bendera kebangsaan Merah Putih berkibar semarak di wilayah tapal batas RI-Papua Nugini (PNG).

Pemandangan patriotik ini tampak jelas di Wutung, pintu perbatasan Provinsi Papua dengan Vanimo (PNG), dan tak kalah menggetarkan hati dibanding rangkaian dentuman meriam dan suasana hidmat di Istana Merdeka, Jakarta, pada detik-detik peringatan proklamasi dengan inspektur upacara Presiden SBY.

Sejak Rabu (15/8) hingga Jumat (17/8), bendera Merah Putih berbagai ukuran berkibar di rumah-rumah penduduk sepanjang perbatasan antarnegara itu. Bendera Merah Putih ikut berkibar di pasar tradisional Wutung, Pos Imigrasi, Pos Polisi dan TNI, serta Pos Karantina yang terletak di tapal batas antara wilayah Kota Madya Jayapura dengan Vanimo.

Pemandangan serupa, berikut berbagai ornamen serba merah-putih, terlihat di wilayah Kabupaten Keerom yang berbatasan langsung dengan Distrik Wasenggela (PNG). ''Menyongsong perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia di perbatasan ini ada suasana lain dari biasanya,'' kata Gaspar May, seorang warga setempat.

Ekspedisi Natuna
Pada detik-detik peringatan HUT Proklamasi RI, kemarin tim ekspedisi panjat tebing Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) Palawa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, perhimpunan panjat tebing Skygers, Patriot Nasional (Patron), dan Jelajah Wastu, berhasil memancangkan pita merah putih berukuran 3 meter x 60 meter di puncak Gunung Rinai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (Keppri).

Kegiatan ini merupakan bagian untuk menyambut HUT RI di pulau terluar, Pulau Natuna. Ketua Tim Ekspedisi, Agung Nugraha, mengatakan, sebenarnya langkah jelajah bertajuk 'Expedition of Boundaries' yang bekerjasama dengan Pemkab Natuna ini telah memancangkan bendera Sang Saka Merah Putih 20 meter x 30 meter di Tebing Tekol, Natuna, pada 11 Agustus lalu. Namun, kemarin 'disempurnakan' dengan pemasangan pita merah putih di puncak Gunung Ranai.

''Kegiatan ini tidak lain untuk membuktikan bahwa kalangan pemuda memiliki rasa kecintaan terhadap NKRI. Terlebih lagi, keberadaan Pulau Natuna merupakan daerah yang strategis karena berbatasan langsung dengan Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Kami ingin menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan RI, harus tetap dijaga,'' kata Agung.

Paran mantan GAM
Di Serambi Makkah lebih unik lagi. Sejumlah mantan elite dan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menjabat kepala daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menjadi inspektur upacara bendera memperingati detik-detik proklamasi Kemerdekaan RI di daerah masing-masing.

Terdapat delapan bupati/wali kota yang berasal dari mantan anggota GAM menjadi inspektur upacara itu, termasuk Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Misalnya upacara bendera di Kota Sabang, dipimpin mantan GAM yang menjadi Wali Kota Munawarliza Zainal, Aceh Jaya (Azhar Abdul Rani), Aceh Utara (Ilyas A Hamid), Kota Lhokseumawe (Munir Usman), Kabupaten Bireuen (Nurdin Abdurrahman), Pidie (Mirza Ismail), Aceh Timur (Muslim Hasballah), dan Aceh Barat (Ramli). Untuk tingkat provinsi, upacara di pusatkan di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, dipimpin langsung Gubernur Irwandi Yusuf.

''Suasana di Aceh cukup bagus, bendera Merah-Putih berkibar di mana-mana,'' kata Irwandi, yang mendapat pengalaman pertama menjadi inspektur upacara pada HUT RI bertema ''Kita Mantapkan Tekad untuk Bangkit Membangun Aceh dalam Wadah NKRI'' itu. zam/djo/dwo/ant


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=303700&kat_id=3

Fwd: [Republika Online] Dulu Pejuang, Kini Tukang Becak




16 Agustus 2007
Dulu Pejuang, Kini Tukang Becak
uki/ant

Perjuangan Marjani (77 tahun) warga Ronggomulyo, Tuban, Jatim, menumpas pejajah di Indonesia seakan tenggelam bersama waktu. Setiap hari ulang tahun kemerdekaan negeri ini diperingati, seperti yang bakal berlangsung besok, jasa Mardjani seakan menguap begitu saja. Hingga kini dia juga tak pernah mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai pejuang revolusi meski telah berusaha mengurusnya.

Pria yang mengaku dalam Agresi Militer Belanda II tergabung dalam pasukan Kodam Mulawarman, Kaltim, ini pernah mengidamkan status veteran pejuang dari pemerintah. Untuk mendapatkan status itu, pada 1986 dia pergi ke markas Kodam V/Brawijaya. Waktu itu, dia sangat berharap agar keterlibatannya dalam perjuangan merebut kemerdekaan bisa meringankan beban hidup yang kini ditanggungnya.

''Saat itu, saya membawa pakaian, atribut pejuang, dan surat-surat penghargaan dari berbagai kesatuan militer yang pernah saya terima,'' kata Mardjani saat ditemui Republika di pangkalan becak dekat pasar Kelurahan Ronggomulyo belum lama ini, Dia berharap, berbagai atribut dan bukti tersebut bisa membantu memuluskan keinginannya.

Namun, menurut dia, hanya Satya Lentjana Wira Dharma yang diakui dan bisa untuk diajukan sebagai bukti dia sebagai veteran pejuang. Hanya, karena lencana penghargaan tanpa foto pemiliknya tersebut dikeluarkan Kodam Mulawarman di Kaltim, dia disuruh ke sana untuk mendapat persyaratan administrasi pengusulan veteran pejuang. Biaya pengurusan tersebut harus ditanggungnya sendiri.

''Karena tak punya biaya, saya tak mengurusnya,'' tutur pria yang mengaku miliki keahlian bongkar pasang sejumlah jenis senjata tersebut. Biaya yang diperlukan untuk bisa ke Kaltim baginya tentulah sangat besar.

Karena begitu sulitnya mendapatkan status sebagai veteran pejuang, Mardjani akhirnya frustrasi. Kini, dia tak lagi berharap mendapatkan status tersebut. Selain bakal kesulitan mendapatkan persyaratan administrasi dari Kodam Mulawarman, ketiga mantan komandannya juga telah tiada (meninggal). Mereka adalah Peltu Aksin, Danyon 501 Kodam Mulawarman; Lettu Takrun, Danki 518, juga di Kodam Mulawarman; serta Lettu Middin, komandan 503 di Gunung Sari, Surabaya.

Kalaupun surat keterangan dari Kodam Mulawarman didapatkan, dia tak akan bisa mendapatkan keterangan lisan maupun tertulis dari komandannya terkait keterlibatannya dalam perang revolusi. Padahal, keterangan ini juga merupakan persyaratan penting dalam pengusulan status veteran pejuang. Kenyataan itu menjadi faktor terbesar yang membuat Mardjani menjadi tidak lagi bersemangat mengurus keperluan yang diperlukan supaya dia bisa berstatus sebagai veteran.

Karena tak lagi berharap status veteran pejuang, sejumlah dokumen penghargaan militer yang dulu begitu dibanggakan kini tak diurus. Satu per satu penghargaan itu pun rusak dimakan rayap. Sebagian lagi hilang tak jelas rimbanya. Begitu juga pakaian militer dan kelengkapan seragam lainnya. ''Sebagian seragam tersebut saya berikan orang lain,'' kata kakek yang mengaku juga pernah terlibat dalam operasi pemberantasan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar itu. Dia merasa, berbagai benda itu sekarang tidak lagi memberi banyak arti bagi kehidupannya.

Satu-satunya penghargaan yang masih tersisa adalah surat tanda penghargaan yang dikeluarkan Menteri Koordinasi Kompartemen Pertahanan dan Keamanan Kasat Angkatan Bersenjata, Djenderal TNI AH Nasution. Dalam surat penghargaan bertanggal 10 November 1965 bernomor 29664 tersebut, Mardjani disebutkan berpangkat pembantu dengan Nrp 716. Atas penghargaan itu dia berhak mendapatkan Satya Lentjana Wira Dharma. Selain berupa dokumen tertulis, penghargaan tersebut juga berupa lencana segi lima berbahan kuningan dengan tulisan prasasti Wira Dharma.

Lencana tersebut selalu disimpan Mardjani dalam dompetnya. Dia berharap lencana tersebut bisa membantunya bila dalam kondisi terjepit atau berurusan dengan instansi sipil/militer. Hanya itu sisa-sisa asa yang masih dimiliki Mardjani. Bisa jadi, lencana pejuang tersebut juga memberi kenangan tersendiri. Menurut dia, hanya keikhlasan yang membuat dia kini hidup bisa tenang. Pria yang tak lulus sekolah rakyat (SR) itu mengaku justru bisa menikmati hidup meski harus rekoso (bekerja berat) di hari tuanya.

Sekarang, pria yang masih terlihat sehat dan energik itu tinggal bersama istri keduanya di sebuah rumah di Jalan Karimun, Perumahan Mondokan Santoso. Rumah ini milik sebuah keluarga yang diikutinya. Kegigihan mencari nafkah dengan berprofesi sebagai seorang tukang becak hingga di usianya yang sudah uzur, 77 tahun, dijalaninya untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Kalau ada sisa dari pekerjaannya sebagai tukang becak, dia manfaatkan sebagai uang jajan bagi tiga cucu dari anak kedua yang diasuhnya. Dia tak mau merepotkan empat anaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=303571&kat_id=3

Fwd: [Republika Online] HT: Khilafah Lindungi Pluralitas




13 Agustus 2007
HT: Khilafah Lindungi Pluralitas
rto

JAKARTA -- Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan kekhilafahan merupakan kenyataan sejarah yang melindungi pluralitas. Selama ini banyak pihak yang salah memahami konsep khilafah dengan menuduh kekhilafahan Islam antipluralitas.

''Kekhilafahan Islam di Spanyol membuktikan itu. Bahkan, sejarah telah menyebut Spanyol sebagai negeri tiga agama, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi,'' kata juru bicara Hizbut Tahrir (HT) Indonesia, Muhammad Ismail Yusanto, dalam Konferensi Kekhilafahan Internasional di Jakarta, Ahad (12/8).

HT mengakui pluralitas yang diindikasikan dari beragam kerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia. ''HT tak memiliki hambatan apa pun untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak, seperti partai Islam lainnya,'' ujar Ismail.

Dia juga menegaskan bahwa HT tak akan menempuh metode kekerasan untuk mencapai tujuannya, yakni tegaknya syariah dan kekhilafahan Islam. Acara Konferensi Kekhilafahan Internasional itu, tegas Ismail, tak dimaksudkan untuk mendeklarasikan berdirinya sebuah kekhilafahan atau partai politik baru. Acara itu lebih bersifat sebagai nasihat keagamaan dalam memberikan pendidikan kepada umat.

HT juga menolak keras munculnya gerakan separatisme di dunia Islam. ''Tegaknya kekhalifahan bermaksud untuk mengganti sistem pemerintahan yang buruk, dan akan mencegah separatisme, sehingga tak mungkin mengancam.''

Presiden Asosiasi Muslim Jepang, Hassan Ko Nakata, mengatakan, tak ada pemaksaan dalam sistem khilafah. Sistem pemerintahan Islam tegak dengan tetap memberikan otonomi untuk hidup mandiri bagi yang non-Islam.

Negeri Islam juga terbuka bagi siapa saja. ''Sistem khilafah tak murni keagamaan, tapi sangat membumi atau bersifat keduniaan. Inilah yang menjadi alasan kenapa sistem ini dapat diterima di semua kalangan, bahkan non-Muslim sekalipun,'' jelas Nakata yang juga Guru Besar Teologi Universitas Doshisha, Kyoto, itu.

Semua organisasi Islam di Indonesia, seperti HT, Muhammadiyah maupun NU, kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, tak keberatan dengan ide pluralitas karena ajaran Islam memang mengakuinya. Yang justru ditentang adalah ide relativitas agama yang menyatakan semua agama adalah sama.

Din juga meminta umat Islam memahami bahwa khilafah merupakan ajaran Islam. Meski, ada perbedaan pendapat dalam hal format dan cara membentuknya, bukan esensinya. ''Khilafah adalah ajaran yang baik dan mulia. Tapi saya lebih pahami secara esensial bahwa khilafah adalah ajaran persatuan umat Islam.''


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=303177&kat_id=3

Rabu, 12 Desember 2007

Fwd: [Republika Online] Petuah Bersahaja Muhammad Yunus


08 Agustus 2007
Petuah Bersahaja Muhammad Yunus

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kedatangan tamu istimewa. Pendiri sekaligus Managing Director Grameen Bank, Bangladesh, Muhammad Yunus, kemarin siang datang ke Istana Negara, Jakarta. Tak sekadar datang, penerima Nobel Perdamaian itu juga memberikan kuliah umum di hadapan Presiden SBY, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu.

Mengenakan pakaian adat negaranya berwarna biru, pria yang senantiasa berpenampilan sederhana itu, selama sekitar 40 menit, memaparkan pengalamannya mengembangkan Grameen Bank. Dengan nada bicaranya yang tenang, mantan dosen di sebuah perguruan tinggi di Bangladesh itu secara runtut menyajikan makalah tidak tertulisnya yang diberi judul We Can Put Poverty into Museums.

Selama enam hari, Yunus direncanakan akan berada di Indonesia untuk mengikuti sejumlah acara. Ia datang ke Indonesia atas undangan langsung Presiden SBY yang dilayangkan sejak Februari 2007. Selain di Jakarta, pria yang mengawali usaha bank dengan meminjamkan uang pribadinya sebesar 27 dolar AS ini, akan menggelar sejumlah kuliah lainnya di Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Sampoerna School of Business Management. Bertemu Menteri Pertanian dan direksi Bank Mandiri juga direncanakan dalam agendanya.

Dalam paparannya di hadapan para petinggi pemerintah, Yunus mengingatkan pentingnya peranan bank untuk mengentaskan rakyat miskin. Belajar dari pengalamannya, diperlukan langkah berani untuk memihak kepada kalangan rakyat miskin. Ia sendiri tergugah untuk mendirikan Grameen Bank yang dikenal sebagai bank bagi rakyat miskin di pedesaan setelah mengetahui bank konvensional tak mau membantu rakyat miskin. ''Bank tidak bisa memberikan pinjaman kepada rakyat miskin karena (mereka) tidak mungkin mengembalikan uangnya,'' ujar dia di bagian awal kuliahnya.

Menurut Yunus, bank konvensional hanya terpaku pada prinsip-prinsip standar. Bank hanya mau memberi pinjaman berdasarkan kekayaan yang dimiliki nasabahnya. Sementara, rakyat miskin tidak memiliki apa pun yang bisa dijaminkan di bank. Karena itulah, ia berani mendirikan Grameen Bank dengan prinsip-prinsip yang bertolak belakang dengan bank konvensional. Kalau bank konvensional membidik nasabah laki-laki, maka dia menarget nasabah wanita.

Selain itu, bila bank konvensional hanya memfokuskan usahanya bagi nasabah di perkotaan, Yunus justru mengarah ke pedesaan. Jika bank mensyaratkan jaminan kepada nasabah, ia sama sekali tak memerlukannya. Bank yang dipimpinnya juga tidak membutuhkan kertas-kertas kontrak pemberian pinjaman. ''Bank konvensional hanya mendasarkan pinjamannya pada orang-orang kaya, sedangkan Grameen Bank pada rakyat miskin di pedesaan,'' tutur dia.

Yunus juga mengkritik bank konvensional yang hanya mau mengumpulkan uang dari pedesaan tanpa mau menyalurkan kembali. Melalui kantor cabangnya, bank mengumpulkan uang nasabah di pedesaan untuk dikumpulkan di kota-kota besar sehingga hanya orang di perkotaan yang menikmatinya. Praktik tersebut jelas berbeda dengan Grameen Bank yang mengumpulkan uang nasabah di pedesaan untuk kepentingan kegiatan ekonomi di pedesaan juga. Uang yang dimobilisasi Grameen Bank selalu disalurkan untuk penduduk miskin, terutama wanita, di pedesaan setempat.

Yang membuat Grameen Bank menjadi lebih berbeda, menurut Yunus, adalah kesediaannya memberi pelayanan kepada kalangan pengemis. Diakuinya, sebagian orang dari jutaan nasabahnya berasal dari kalangan yang kurang beruntung ini. Baginya, pengemis juga merupakan bagian dari wirausaha ( entrepreuner) mikro yang perlu dibantu agar sanggup keluar dari belenggu kemiskinan. Sebuah langkah yang sangat sulit dilakukan oleh bank konvensional di manapun.

Yunus menganggap bahwa pengemis juga merupakan seorang wirausaha yang perlu dibantu. Persepsi seperti ini sangatlah berbeda dengan pandangan yang umumnya berkembang di Indonesia. Pengemis dianggap sebagai kalangan yang tidak masuk kategori sebagai nasabah bank. Para anggota kabinet yang datang dengan mengenakan pakaian resmi berupa jas lengkap dengan dasinya, tampak antusias mendengarkan kuliah yang diberikan Yunus. Para menteri itu serius mendengarkan paparan pria yang namanya sudah mendunia itu. Bahkan, ada di antara para pejabat negara itu yang mencatat isi kuliah di notesnya.

Namun, sayangnya saat sesi tanya jawab yang dimoderatori oleh Menko Kesra Aburizal Bakrie itu berlangsung, acara kuliah umum tersebut menjadi tertutup bagi wartawan. Presiden SBY dalam sambutannya yang dibacakan sebelum kuliah Yunus, mengakui akses pendanaan masih menjadi kendala bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Indonesia. Karena itu, pemerintah terus berkomitmen membantu UMKM baik dari aspek akses pendanaan, maupun memperluas akses pasarnya. ''Masih banyak UMKM yang belum mendapatkan akses modal. Padahal, akses ini sangat penting untuk mengurangi kemiskinan,'' ungkap SBY.

Menurut pria kelahiran Pacitan ini, Indonesia sebenarnya sudah tidak asing lagi dengan kredit bagi UMKM. Di negeri ini sudah dikenal peranan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sejak berdiri selalu fokus menyalurkan kreditnya bagi UMKM. Hanya, karena jumlahnya yang mencapai jutaan, diakuinya masih banyak UMKM yang belum mendapatkan akses ke perbankan. djo


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=302763&kat_id=3

Jumat, 30 November 2007

Aceh Tidak Pernah Berontak Pada NKRI

Assalamu'alaikum wr wb

http://swaramuslim.com/galery/comments.php?id=5544_0_18_0_C


Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah 'pemberontakan rakyat Aceh' atau 'pemberontakan Aceh' terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah 'kontingen' pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk 'memadamkan' pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah 'pemberontakan' yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.

Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, "berontak" dengan "menarik kesepakatan" merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir
NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai "Negara" yang merdeka dan berdaulat.

Istilah "Indonesia" sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang "Indonesia" masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai "Rakyat Aceh", tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.


Mesjid Baiturahman tahun 1895

Dipersatukan Oleh Akidah Islamiyah
Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.

Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.

Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.

Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.

Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.

Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.


Tentara Marechaussees / KNIL Membantai rakyat Aceh


Cara Pandang 'Majapahitisme'
Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma 'Majapahitisme'. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme' atau Jawa Sentris, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.

Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.

Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah "Sabda Pandhita Ratu" yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk "mencicipi keperawanan" setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki.

Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.

Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam 'Konstitusi Negara" Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.

Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Nanggroe Aceh Darussalam dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang.

Nangroe Aceh Darussalam bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan "Pemerintah Jakarta" terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.

Dan ketika Nanggroe Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional.

Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya "Jawa" membangun Aceh. Mudah-mudahan 'kesepakatan' ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai. (Rz/eramuslim)

LINK ACEH
Herritage
- http://www.aceh.net/heritage.html
- http://www.lestariheritage.net/aceh/

Penjajahan Belanda
- http://www.antenna.nl/wvi/nl/ic/vp/atjeh/
- http://www.zum.de/whkmla/region/seasia/aceh.html
- http://www.zum.de/whkmla/region/seasia/xaceh.html
- http://www.achehtimes.com/
- http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/atjeh.htm

Islam di Papua, Sejarah yang Terlupakan

Assalamu'alaikum wr wb

http://swaramuslim.com/galery/comments.php?id=5581_0_18_0_C

Islam masuk lebih awal sebelum agama lainnya di Papua. Namun, banyak upaya pengaburan, seolah-olah, Papua adalah pulau Kristen. Bagaimana sejarahnya?

Upaya-upaya pengkaburan dan penghapusan sejarah dakwah Islam berlangsung dengan cara sistematis di seantero negeri ini. Setelah Sumetera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Maluku diklaim sebagai kawasan Kristen, dengan berbagai potensi menariknya, Papua merupakan jualan terlaris saat ini. Papua diklaim milik Kristen!

Ironis, karena hal itu mengaburkan fakta dan data sebenarnya di mana Islam telah hadir berperan nyata jauh sebelum kedatangan mereka (agama Kristen Missionaris). :foto

Berikut catatan Ali Atwa, wartawan Majalah Suara Hidayatullah dan juga penulis buku "Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)" tentang Islam di Bumi Cenderawasih bagian pertama:

Menurut HJ. de Graaf, seorang ahli sejarah asal Belanda, Islam hadir di Asia Tenggara melalui tiga cara: Pertama, melalui dakwah oleh para pedagang Muslim dalam alur perdagangan yang damai; kedua, melalui dakwah para dai dan orang-orang suci yang datang dari India atau Arab yang sengaja ingin mengislamkan orang-orang kafir; dan ketiga, melalui kekuasan atau peperangan dengan negara-negara penyembah berhala.

Dari catatan-catatan yang ada menunjukkan bahwa kedatangan Islam di tanah Papua, sesungguhnya sudah sanggat lama. Islam datang ke sana melalui jalur-jalur perdagangan sebagaimana di kawasan lain di nusantara.

Sayangnya hingga saat ini belum ditentukan secara persis kapan hal itu terjadi. Sejumlah seminar yang pernah digelar seperti di Aceh pada tahun 1994, termasuk yang dilangsungkan di ibukota provinsi Kabupaten Fakfak dan di Jayapura pada tahun 1997, belum menemukan kesepakatan itu. Namun yang pasti, jauh sebelum para misionaris menginjakkan kakinya di kawasan ini, berdasarkan data otentik yang diketemukan saat ini menunjukkan bahwa muballigh-muballigh Islam telah lebih dahulu berada di sana.

Aktivitas dakwah Islam di Papua merupakan bagian dari rangkaian panjang syiar Islam di Nusantara. Menurut kesimpulan yang ditarik di dalam sebuah seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia, Medan 1963, Islam masuk ke Indonesia sudah sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Di mana daerah pertama yang didatangi oleh Islam adalah pesisir Utara Sumatera, dan setelah berkembangnya para pemeluk Islam, maka kerajaan Islam yang pertama di Indonesia ialah Kerajaaan Perlak, tahun 840.

Perkembangan agama Islam bertambah pesar pada masa Kerajaan Samudera Pasai, sehingga menjadi pusat kajian Agama Islam di Asia Tenggara. Saat itu dalam pengembangan pendidikan Islam mendapatkan dukungan dari pimpinan kerajaan, sultan, uleebalang, panglima sagi dan lain-lain. Setelah kerajaan Perlak, berturut-turut muncul Kerajaan Islam Samudera Pasai (1042), Kerajaan Islam Aceh (1025), Kerajaan Islam Benua Tamiah (1184), Kerajaan Islam Darussalam(1511).

Sebagian ahli sejarah berpendapat bahwa sebelum tahun 1416 Islam sudah masuk di Pulau Jawa. Penyiaran Islam pertama di tanah jawa dilakukan oleh Wali Songo (Wali Sembilan). Yang terkenal sebagai orang yang mula-mula memasukkan Islam ke Jawa ialah Maulana Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419. Ketika Portugis mendaratkan kakinya di pelabuhan Sunda Kelapa tahun 1526, Islam sudah berpengaruh di sini yang dipimpin oleh Falatehan. Putera Falatehan, Hasanuddin, pada tahun 1552 oleh ayahnya diserahi memimpin banten.

Di bawah pemerintahannya agama Islam terus berkembang. Dari Banten menjalar ke Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Juga di pula Madura agama Islam berkembang.

Pada pertengahan abad ke-16 penduduk Minangkabau memeluk Islam begitu juga di Gayo Sumatera Utara. Ketika Sultan Malaka terakhir diusir oleh Portugis, ia menetap di Pulau Bintan, yang kala itu sudah menjadi negeri Islam (1511).

Pada tahun 1514, sebagian penduduk Brunai di Kalimantan sudah memeluk agama Islam. Bahkan pada tahun 1541, raja Brunai sendiri masuk Islam. Di Kalimantan Barat, Sambar, yang menjadi bawahan negeri johor, penduduknya sudah masuk Islam pada pertengahan abad ke-16. Di bagian selatan Kalimantan yang tadinya merupakan wilayah kekuasaan Kejaraan Majapahit, setelah Majapahit ditaklukan oleh Kerajaan Islam Demak. Masuknya Islam di Banjarmasin sekitar tahun 1550, dan pada tahun 1620 di Kotawaringin telah terdapat seorang raja yang memeluk agama Islam.

Pada tahun 1600 Kerajaan Pasir dan Kutai telah menjadi daerah Islam. Seabad kemudian menyusul Kerajaan Berau dan Bulungan. Di Sulawesi raja Goa tahun 1603 masuk Islam. Selanjutnya raja Goa mengislamkan daerah-daerah di sekitarnya seperti Bone [1606], Soppeng [1609], Bima (1626), Sumbawa (1626) juga Luwu, Palopo, mandar, Majene menjadi daerah Islam.

Di wilayah Sulawesi Utara mulai dari Mandar sampai Manado pada pertengahan abad ke -16 menjadi bawahan Kerajaan Ternate yang rajanya adalah seorang Muslim. Atas ajakan raja Ternate, raja Bolaang Mongondow memeluk Islam. Terus ke timur di kepulauan Maluku pada mula abad ke-16 telah memiliki kerajaan Islam yakni Kerajaan Bacan. Muballigh dari kerajaan Ini terus mendakwahkan Islam ke kawasan tetangganya di Papua melalui jalur perdagangan.

Sejak Zaman Kerajaan Majapahit
Seorang Guru Besar Bidang Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Dr. Moehammad Habib Mustofo, yang sekaligus Ketua Asosiasi Ahli Epigrafi Indonesia (AAEI) Jawa Timur menjelaskan bahwa dakwah Islam sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.

Apalagi dengan diketemukanya data artefakt yang waktunya terentang antara 1368-1611M yang membuktikan adanya komunitas Muslim di sikitar Pusat Keraton Majapahit, di Troloyo, yakni sebuah daerah bagian selatan Pusat Keraton Majapahit yang waktu itu terdapat di Trowulan.

Situs Islam di Troloyo sudah dikenal sejak abad XIX, namun para ilmuwan meragukan kepentingan nisan-nisan itu sebagai salah satu sumber primer yang penting berkaitan dengan islamisasi di Jawa.

L.W.C. van den Berg, pada laporannya tertanggal 1 Februari 1887 tentang data epigrafi Arab di Situs Troloyo meragukan keasliannya, karena tulisan Arabnya yang kasar dan banyak salah tulis. Selanjutnya ia berpendapat bahwa inskripsi Arabnya sengaja ditambahkan kemudian pada artefak yang berisi tahun saka itu (Damais, 1957:365).

Pendapat lain dikemukakan oleh Veth, yang memperkirakan bahwa nisan-nisan tersebut berasal dari bagu candi. N.J. Krom menyatakan sittus Troloyo tidak mempunyai nilai arkeologis(Krom, 1923:184).

Sikap para sarjana terhadap temuan di Troloyo tersebut mulai berubah sejak tahun 1942. W.F. Stuterheim yang menjabat sebagai kepala Oudheidkundig Diens, menjelang penduddukan Jepang di Indonesia mengajak L.C. Damais ke Situs Troloyo. Stuterhem mengharapkan temuan Damais, yang seorang antropolog berkebangsaan Perancis itu akan menambah pengetahuan baru dalam arkeologi Islam. Hasil penelitian Damais itu baru dipublikasikan pada tahun 1957.

Dari hasil penelitian Damais didapat pandangan yang menarik karena di sana didapati suatu interaksi antara komunitas Muslim saat itu dengan para penganut Hindu-Budha di bawah pemerintahan Majapahit.

Kesimpulan tersebut didasarkan atas studi huruf Jawa kuno dalam konteks makam Islam di daerah Troloyo tertulis tahun 1368-1611M. Kajian tentang huruf yang terdapat pada nisan Islam di Troloyo tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk angka Jawa kuno dipengaruhi oleh bentuk tulisan Arab yang serba tebal dan besar.

Kajian oleh L.C. Damais dan de Casparis dari sudut paleografi membuktikan bahwa telah terjadi saling pengaruh antara dua kebudayaan yang berbeda (yakni antara Hindu-Budha-Islam) pada awal perkembangan Islam di Jawa Timur. Melalui data-data tersebut, Habib ingin menjelaskan bahwa sesungguhnya dakwah Islam sudah terjadi terjadi jauh sebelum keruntuhan total kerajaan Majapahit yakni tahun 1527M. Dengan kata lain, ketika kerajaan Majapahit berada di puncak kejayaannya, syiar Islam juga terus menggeliat melalui jalur-jalur perdagangan di daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Majapahit di delapan mandala (meliputi seluruh nusantara) hingga malaysia, Brunei Darussalam, hingga di seluruh kepulauan Papua.

Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Se-zaman dengan itu, muncul jaman baru yang ditandai penyebaran Islam melalui jalar perdagangan Nusantara.

Melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif terbatas di kota-kota pelabuhan. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.

Sebagai kerajaan tangguh masa itu, kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama, sebagai wilayah Yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai berikut:

"Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang sanusapupul".

"Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka nusatutur".

Dari keterangan yang diperoleh dalam kitab klasik itu, menurut sejumlah ahli bahasa yang dimaksud "Ewanin" adalah nama lain untuk daerah "Onin" dan "Sran" adalah nama lain untuk "Kowiai". Semua tempat itu berada di Kaimana, Fak-Fak. Dari data tersebut menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk wilayah kekuasaan Majapahit.

Menurut Thomas W. Arnold : "The Preaching of Islam", setelah kerajaan Majapahit runtuh, dikalahkan oleh kerajaan Islam Demak, pemegang kekuasan berikutnya adalah Demak Islam. Dapat dikatakan sejak zaman baru itu, pengaruh kerajaan Islam Demak juga menyebar ke Papua, baik langsung maupun tidak.

Dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati, tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku.

Catatan serupa tertuang dalam sebuah buku yang dikeluarkan oleh Periplus Edition, di buku "Irian Jaya", hal 20 sebuah wadah sosial milik misionaris menyebutkan tentang daerah yang terpengaruh Islam. Dalam kitab Negarakertagama, di abad ke 14 di sana ditulis tentang kekuasaan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, di mana di sana disebutkan dua wilayah di Irian yakni Onin dan Seran

Bahkan lebih lanjut dijelaskan: Namun demikian armada-armada perdagangan yang berdatangan dari Maluku dan barangkali dari pulau Jawa di sebelah barat kawasan ini, telah memiliki pengaruh jauh sebelumnya.

....Pengaruh ras austronesia dapat dilihat dari kepemimpinan raja di antara keempat suku, yang boleh jadi diadaptasi dari Kesultanan Ternate, Tidore dan Jailolo. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Ternate di temukan di raja Ampat di Sorong dan di seputar Fakfak dan diwilayah Kaimana

Sumber cerita rakyat mengisahkan bahwa daerah Biak Numfor telah menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Sultan Tidore.

Sejak abad ke-XV. Sejumlah tokoh lokal, bahkan diangkat oleh Sultan Tidore menjadi pemimpin-pemimpin di Biak. Mereka diberi berbagai macam gelar, yang merupakan jabatan suatu daerah. Sejumlah nama jabatan itu sekarang ini dapat ditemui dalam bentuk marga/fam penduduk Biak Numfor.

Kedatangan Orang Islam Pertama
Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa, masuknya Islam ke Papua, tidak bisa dilepaskan dengan jalur dan hubungan daerah ini dengan daerah lain di Indonesia. Selain faktor pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit, masuknya Islam ke kawasan ini adalah lewat Maluku, di mana pada masa itu terdapat kerajaan Islam berpengaruh di kawasan Indonesia Timur, yakni kerajaan Bacan.

Bahkan keberadaan Islam Bacan di Maluku sejak tahun 1520 M dan telah menguasai beberapa daerah di Papua pada abad XVI telah tercatat dalam sejarah. Sejumlah daerah seperti Waigeo, Misool, Waigama dan Salawati pada abad XVI telah mendapat pengaruh dari ajaran Islam. Melalui pengaruh Sultan Bacan inilah maka sejumlah pemuka masyarakat di pulau-pulau tadi memeluk agama Islam, khususnya yang di wilayah pesisir. Sementara yang dipedalaman masih tetap menganut faham animisme.

Thomas Arnold yang seorang orientalis berkebangsaan Inggris memberi catatan kaki dalam kaitannya dengan wilayah Islam tersebut: "…beberapa suku Papua di pulau Gebi antara Waigyu dan Halmahera telah diislamkan oleh kaum pendatang dari Maluku"

Tentang masuk dan berkembangnya syi'ar Islam di daerah Papua, lebih lanjut Arnold menjelaskan: "Di Irian sendiri, hanya sedikit penduduk yang memeluk Islam. Agama ini pertama kali dibawa masuk ke pesisir barat [mungkin semenanjung Onin] oleh para pedagang Muslim yang berusaha sambil berdakwah di kalangan penduduk, dan itu terjadi sejak tahun 1606. Tetapi nampaknya kemajuannya berjalan sangat lambat selama berabad-abad kemudian..."

Bila ditinjau dari laporan Arnold tersebut, maka berarti masuknya Islam ke daerah Papua terjadi pada awal abad ke XVII, atau dua abad lebih awal dari masuknya agama Kristen Protestan yang masuk pertama kali di daerah Manokwari pada tahun 1855, yaitu ketika dua orang missionaris Jerman bernama C.W. Ottow dan G.J. Geissler mendarat dan kemudian menjadi pelopor kegiatan missionaris di sana. (Ali Atwa, penulis buku "Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)." (Hidayatullah)

This is Manokwari


Full Window : http://swaramuslim.com/galery/papua/index.php

Rakyat Indonesia Menyukai PEMIMPIN JAHAT

Assalamu'alaikum wr wb
http://swaramuslim.com/galery/comments.php?id=5584_0_18_0_C

Risalah Mujahidin Edisi 8 Th I Rabiul Akhir 1428 H / Mei 2007, hal. 11-16
SEBAGAI negara dan bangsa yang telah 62 tahun merdeka, rakyat dalam semua lapisan , kecuali di lingkungan pejabat dan penjahat negara terus menerus mengeluh dengan berbagai macam penderitaan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, pengangguran, kriminalitas yang semakin bringas dan biadab membuat kita harus bertanya, mengapa semua ini menimpa negeri kita?

Siapa biang kerok yang menangung kesalahan fatal ini? Apa sebabnya begitu lama bangsa ini dirundung kemurungan dan kenistaan, padahal kita mengaku sebagai bangsa religius, beradab, berhati lembut, dan berjiwa santun? Menguap ke manakah sifat-sifat baik dari bangsa ini, sehingga kini hanya menyisakan moralitas tercela dan rendah? Apakah pengakuan bahwa bangsa ini religius, berhati lembut dan berjiwa santun sekadar lip service dan propaganda palsu, ataukah fakta sejarahnya memang demikian? :foto

Agaknya kita harus berani mengkritik diri sendiri dan membongkar topeng-topeng palsu bangsa kita dengan menengok sejarah masa lalu kita. Dari situ kita memulai untuk bercermin diri, untuk mengetahui dengan yakin apakah kita ini bangsa yang bobrok atau bangsa yang baik?

Menyukai Pemimpin Jahat
Bahwa Indonesia adalah bangsa yang bobrok, rusak moral, dan kacau fikirannya, sudah banyak contohnya. Selama ini, belum pernah Indonesia dinilai positif oleh dunia internasional, dan belum pernah rakyatnya merasakan kebaikan para pemimpin negaranya.

Di zaman orde lama, selama 22 tahun dipimpin Soekarno, Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, melarat, kemiskinan merajalela. Selama 32 tahun dipimpin Soeharto, rezim orde baru dikenal sebagai negara pelanggar HAM parah, sementara warisan hutang luar negeri bejibun, dan menjadi beban rakyat Indonesia. Setelah Orla dan Orba berlalu, negeri kita belum juga naik peringkat, malah lebih terpuruk dari sebelumnya.

Sejak BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal dengan slogan "bersama kita bisa", berturut-turut Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jeleknya. Sebagai negara terkorup se Asia, produsen ekstasi terbesar di dunia, paling akrab dengan bencana, paling miskin rakyatnya, paling banyak hutang luar negerinya. Selain itu, negeri kita juga dikenal sebagai negara teroris, maju dibidang pornografi dan pornoaksi, dan yang paling parah negara pengekor asing paling setia.

Kondisi Indonesia yang kian carut-marut hampir dalam segala kehidupan, membenarkan adagium (anggapan), bahwa munculnya pemimpin jahat datang dari masyarakat yang rusak. Dan kerusakan di masyarakat, disebabkan berkuasanya pemimpin jahat, koruptor, perusak moral, mmengejar hawa nafsu, bohong kepada masyarakat. Pemimpin jahat biasa memanipulasi kepentingan pribadi dan partainya menjadi kepentingan negara dan masyarakat.

Firman Allah: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada mutrafin (orang-orang yang hidup mewah di negeri itu) supaya mentaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS al-Isra' : 16).

Kepemimpinan mutrafin artinya serakah cirinya ada tiga: Hedonis; Menuntut rakyat memenuhi kepentingannya tetapi dia tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya; Tidak peduli dan tidak berpihak kepada rakyat miskin dengan berbagai aturan yang dibuat. Semua kebijakannya hanya menguntungkan kepentingan hidupnya sendiri. Adanya pengaruh-pengaruh merusak dari tiga kelompok kekuatan di tengah masyarakat akan berdampak lahirnya pemimpin-pemimpin yang buruk manajemennya, rusak moralnya dan berhati serigala dalam menghadapi kelompok masyarakat yang lemah.

Contoh, import barang mewah, mobil mewah, mendirikan rumahsakit mewah, industrialisasi, eksploitasi hutan dan tambang, nasionalisasi kebutuhan pokok masyarakat yang tidak memihak kepada rakyat luas. Jalan raya yang dibutuhkan rakyat tidak diurus, keretaapi tidak diurus, namun ketika anggota DPR butuh laptop malah dibiayai oleh uang negara. Kasus Lumpur Lapindo terkatung-katung, hak-hak tanah masyarakat dikalahkan oleh kepentingan penguasa untuk airport, mall, pabrik dan sebagainya. Rakyat dihargai hak-haknya setelah melawan, seperti yang dilakukan Aceh (GAM dan NII Daud Beureuh).

Mengapa rakyat Indonesia menolak pemimpin yang baik? Karena mental rakyat Indonesia adalah mental aji mumpung. Menderita sekian lama dapat kesenangan sedikit sudah lupa, tidak tahu diuntung. Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kualitas rakyat.

Menolak Pemimpin Baik
Sebagai bangsa yang baik, agak sulit bagi kita untuk menemukan faktanya. Mencari pejabat yang jujur dan bertanggung jawab saja, betapa sulitnya. Saat-saat menghadapi ujian nasional tahun ini, masyarakat disuguhi kenyataan memalukan: ujian nasional diawasi aparat kepolisian, dan soal ujian sebelum dibagikan pada hari-H disimpan untuk diamankan di lemari polisi. Kejujuran telah menjadi barang mewah dan langka di negeri ini. Belum lagi, kasus pencucian uang haram, yang merebak dan seakan menjadi zona aman bagi penjahat, termasuk pedagang narkoba.

Dalam kasus IPDN, orang baik-baik seperti Inu Kencana misalnya, dibenci oleh almamaternya sendiri. Sementara para pembunuh, pejabat jahat, diberi naik pangkat. Untuk itu marilah kita lihat respon masyarakat kita terhadap kepemimpinan yang baik sepanjang Indonesia menjadi negeri merdeka. Dengan fakta-fakta sejarah ini, semoga negara dan bangsa ini tahu diri dan bercermin pada masa lalunya. Fakta-fakta sejarah justru bericara kepada kita bahwa masyarakat Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga hari ini menolak dipimpin orang-orang yang baik.

Dalam sejarah Indonesia merdeka, sebenarnya tidak sepi sama sekali dari pemimpin yang baik, memperhatikan kepentingan rakyat, dan membangun negara yang berdaulat penuh.

Mr. Assaat (18 September 1904 – 16 Juni 1976) adalah tokoh pejuang Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan RI di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Selama dua tahun kekuasaannya, Mr. Assaat membuat program pemerintahan yang relevan saat itu, dan mencerminkan pembelaan kepada rakyat kecil yang baru saja lepas dari penjajah Belanda. Di antara program pemerintahannya adalah: Bisnis asing (Cina) tidak boleh masuk di Kabupaten ke bawah, kecuali hanya boleh di tingkat propinsi saja. Hal ini berkaitan dengan jaringan bisnis Cina yang menjadi tulang punggung PKI kala itu. Namun kebijakan Assaat ini dijegal di Parlemen, sehingga masa pemerintahannya tidak bisa bertahan dan kemudian dijatuhkan.

Mohammad Natsir (Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – Jakarta, 6 Februari 1993) adalah pemimpin Masyumi dan salah seorang tokoh politik dan tokoh Islam di Indonesia. Pada 5 September 1950 hingga 26 April 1951 Natsir dipilih menjadi Perdana Menteri RI. Hanya dalam waktu tidak lebih 8 bulan saja bertugas memimpin negara, Natsir berhasil menyatukan Indonesia yang saat itu terbagi dalam negara-negara bagian, sehingga dia ditunjuk menjadi Perdana Menteri, kemudian mengambil langkah penyelesaian damai dengan para pejuang Aceh di bawah kepemimpinan Daud Beureueh. Tetapi langkah ini ditorpedo oleh Soekarno (PNI dan PKI) dan menimbulkan konflik berkepanjangan di Aceh yang membuat rakyat Aceh terlambat menikmati masa-masa kemerdekaan.

Kabinet Burhanuddin Harahap, bertugas pada periode 12 Agustus 1955 – 24 Maret 1956. Kabinet ini demosioner paad 1 Maret 1956 seiring dengan diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Tidak sampai dua tahun menjadi PM atas rekomendasi wakil presiden Moh. Hatta, dia berhasil menciptakan reputasi spektakuler dalam menyelesaikan problem bangsa. Program pemerintahannya: satu, menurunkan harga kebutuhan pokok; dua, melunasi hutang luar negeri; dan tiga, mengadakan pemilu pertama yang demokratis. Sayangnya setelah pemilu yang paling jurdil terselenggara justru Sekarno (PNI dan PKI) memprovokasi rakyat untuk menggembosi partai Masyumi, sehingga PNI dan PKI memperoleh suara lebih banyak dari Masyumi dan NU. Akhirnya mandat Burhanuddin sebagai PM tidak dapat dipertahankan. Ia digantikan, justru dari PKI, yang terkenal dengan Perdana Menteri Asu (Ali Surahman). Indonesia kian terpuruk, secara ekonomi dan politik. Konflik daerah kian berkecamuk.

Kabinet Djuanda, disebut juga Kabinet Karya, memerintah pada periode 9 April 1957 – 10 Juli 1959. PM Djuanda yang dalam programnya menanggulangi pemberontakan daerah dan membenahi penyalahgunaan birokrasi oleh PNI dan PKI, tetapi gagal karena dihadang oleh PNI dan PKI dengan dukungan Soekarno.

Di masa reformasi, sebenarnya kita optimis akan dipimpin orang baik. Baharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Ia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Namun jabatannya tidak bertahan lama, digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih pada 20 Oktober 1999 oleh suara MPR dari hasil Pemilu 1999. Dengan 373 suara MPR, Gus Dur mengalahkan calon presiden Megawati Soekarnoputri yang memperoleh 313 suara.

Di antara keberhasilan Habibie yang menjabat presiden hanya setahun lebih tiga bulan, berhasil membuka kran hak rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan politik, membebaskan tahanan-tahanan politik, mengendalikan moneter sehingga rupiah menguat dan menciptakan jaring pengaman sosial (JPS) serta menyelenggarakan pemilu ke-2 yang paling demokratis. Tetapi Habibie dijegal oleh PDIP dan kaum oportunis politik yang merasa mampu memimpin negara, tetapi realitanya hanya menciptakan kemiskinan dan kekacauan di tengah rakyat, akhirnya Habibie harus turun tahta walaupun dengan hati yang berat.

Di negeri ini terbukti kepemimpinan orang baik tidak pernah bertahan lama. Sekalipun nama-nama pemimpin yang kita sebutkan di atas bukanlah pemimpin ideal yang dikehendaki Islam, namun mereka muncul di tengah kegalauan politik yang menyengsarakan rakyat. Mereka orang-orang terbaik di antara yang paling jelek.

Sementara itu, orang-orang jahat, koruptor, bertahan hingga puluhan tahun. Soekarno berkuasa lebih dari 22 tahun, dan Soeharto yang korup berkuasa selama 32 tahun. Kenyataan demikian bisa disaksikan dalam pemilihan Pilkada yang sekarang berlangsung di berbagai daerah dan provinsi. Mulai dari Cawagub-cawagub, bupati dan calon bupati hingga terpilih, yang muncul hampir semuanya tidak terbebas dari pekat. Ada yang kedapatan mengisap sabu-sabu, berjudi, bahkan sedang berbuat mesum.

Dalam praktik demokrasi, pemimpin terpilih menunjukkan kondisi dan kualitas rakyat pemilih. Maka, benarlah sabda Rasululah SAW dalam sebuah hadits riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu Shihab: "Sebagaimana keberadaan kamu, maka begitulah munculnya pemimpin-pemimpin di tengah-tengah kamu."

Kepemimpinan Syar'i
Proses memperbaiki masyarakat, sekaligus dalam memperbaiki kepemimpinan dalam masyarakat diajarkan dalam Al-Qur'an. Mengangkat para Rasul atau nabi untuk menjadi pemimpin di tengah masyarakat, sebagaimana Allah sebutkan dalam QS As-Sajdah ayat 24 yang artinya: "Dan Kami angkat di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk dengan Syari'at Kami ketika mereka menerimanya dengan kesabaran dan mereka beriman kepada ayat-ayat Kami."

Petunjuk Al-Qur'an di atas menjelaskan proses munculnya pemimpin yang baik di tengah masyarakat. Yaitu, bilamana masyarakat beriman kepada ayat-ayat Allah, kemudian bersabar serta konsisten menjalankan syari'at-Nya sebagai pedoman hidup, walaupun menghadapi tantangan hidup yang berat. Sebaliknya, bila masyarakat condong pada perbuatan maksiat, melecehkan agama Allah, mengumbar kebringasan hawa nafsu, dan menjadikan kaum perempuan sebagai komoditas seni, budaya, dan politik untuk memperdayakan masyarakat, maka tentulah memberi peluang besar munculnya para pemimpin yang bermoral rusak, berpikrian materialistis, bermental hedonis, dan berprilaku feodalis kolonialis.

Berkuasanya pemimpin demikian, pasti mengundang bencana bagi masyarakat di belahan bumi mana pun mereka berada. "Ketika para pemimpin kamu adalah orang-orang baik di antara kamu, dan orang kaya kamu adalah orang-orang dermawan di antara kamu dan urusan kamu diselesaikan secara musyawarah, maka berada di muka bumi lebih baik bagi kamu daripada di liang kubur. Tetapi bila pemimpin-pemimpin kamu orang yang jahat di antara kamu dan orang-orang kaya kamu adalah orang-orang yang bersifat kikir di kalangan kamu dan persoalan kamu tergantung penyelesaiannya kepada kaum perempuan kamu. Maka liang kubur lebih baik bagi kamu daripada tinggal di permukaan bumi." (HR Turmudzi).

Hadits di atas menggambarkan, bahwa munculnya pemimpin jahat akibat adanya kerusakan di tengah masyarakat, terutama disebabkan kerusakan yang terjadi sebelumnya. Fakta semacam ini ratusan kali terjadi di belahan dunia sejak ribuan tahun yang lalu sebagaimana dapat kita baca dalam sejarah.

Dalam urusan pemimpin, Islam tidak main-main. Seorang dapat dipilih sebagai pemimpin negara, setidaknya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
Orang yang paling mengerti Al-Qur'an dan Sunnah.
Paling baik akhlaknya di antara umat.
Mengerti kepentingan umat dan mampu menyelesaikannya.
Sabar menghadapi segala macam problema umat dan paling bijaksana untuk menetapkan kebijakan.
Mengerti karakter musuh-musuh umat sehingga dapat mempertahankan keutuhan umat.
Sederhana di dalam kehidupannya, sehingga tidak membebani rakyat dengan berbagai belanja negara yang bersifat pemborosan dan mewah.


Risalah Mujahidin Edisi 8 Th I Rabiul Akhir 1428 H / Mei 2007, hal. 11-16

Open New Window : http://swaramuslim.com/galery/sejarah/index.php?page=makam_PM

Potret Islam di Museum Kita

Assalamu'alaikum wr wb

http://swaramuslim.com/galery/comments.php?id=5598_0_18_0_C

Wajah orangtua itu bersungguh-sungguh. Mimik mukanya sangat serius. Ada sedikit kesedihan terpancar di kedua matanya. Bibirnya bergetar. "Negara ini sangat zalim dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri, " ujarnya.

Orangtua itu melanjutkan ceritanya. Dia bilang jika reformasi telah gagal di banyak bidang. Salah satunya, yang paling nyata, adalah di bidang penulisan sejarah bangsa. "Bagaimana generasi muda bangsa ini bisa bercermin pada sejarah bangsanya, bila yang ditemukan atau dikisahkan kepada mereka adalah kebohongan demi kebohongan. "

Orangtua itu adalah Letnan Jenderal (Purn) Zaini Azhar Maulani atau yang biasa ditulis dengan ZA. Maulani saja. Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di era Presiden Habibie itu tengah berdiskusi dengan segelintir anak muda di suatu daerah di Jakarta, pertengahan 2002.

Menurut lelaki kelahiran Marabahan, sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan, tahun 1939, penulisan sejarah bangsa Indonesia telah banyak menyimpang dari fakta yang sesungguhnya terjadi.

"Siapa pun tak kan bisa menolak fakta bahwa perjuangan umat Islam-lah yang menjadikan negara ini merdeka dan mampu mempertahankannya. Semangat jihad-lah yang membuat bangsa dan negara ini kuat menghadapi berbagai gempuran para musuhnya. Tapi apakah hal ini ditulis dengan benar dan apa adanya dalam sejarah kita? Sama sekali tidak!" tegasnya.

Jenderal yang sangat bersahaya ini melanjutkan, "Jika tidak percaya dengan apa yang saya ucapkan ini, silakan Anda semua pergi ke museum. Lihat apa yang ditulis di dalam museum-museum kita tentang perjalanan sejarah bangsa ini. Apa yang mereka tulis tentang umat Islam Indonesia dan perjuangannya?"

Pernyataan akhir dari lelaki tegar ini sungguh menyesakkan dada. "Museum-museum kita menuliskan bahwa umat Islam Indonesia tidak lebih sebagai para pemberontak. Ada DI/TII dan NII Kartosuwiryo, Daud Beureueh, Kahar Muzakar, Gerombolan Imron 'Woyla', peledakan Borobudur, dan sebagainya. Umat Islam Indonesia dilukiskan sebagai teroris. Tidak lebih. "

Saya, salah satu anak muda yang ikut dalam acara diskusi malam itu, pulang dengan berjuta pertanyaan di kepala. Setelah pertemuan itu, setiap saya berkesempatan mengunjungi museum, pernyataan Pak Maulani kembali terngiang di kepala. Menurut saya, Museum ABRI Satria Mandala yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, bisa merepresentasikan dengan baik apa yang dikatakan Pak Maulani. Karena di museum yang menempati lokasi bekas rumah pribadi Ratna Sari Dewi, salah satu isteri Presiden Soekarno ini, memang disengaja untuk memotret perjalanan sejarah bangsa ini sejak kemerdekaan tahun 1945 hingga masa Orde Baru.

Satria Mandala
Sejak awal Orde Baru hingga sekarang, Museum ABRI Satria Mandala merupakan satu-satunya museum yang dianggap terlengkap memotret perjalanan sejarah rakyat dan TNI di dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Ada istilah 'dianggap' karena secara kuantitas maupun kualitas, museum ini pun sesungguhnya tidak representatif dijadikan pedoman bagi bangsa ini di dalam menelusuri jejak sejarahnya.

Begitu memasuki ruang pertama museum ini, kita akan disuguhkan dengan sejumlah panji-panji angkatan. Lalu ada ruang diorama yang diawali dengan penggambaran pembacaan teks proklamasi yang dilakukan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Jakarta, 17 Agustus 1945. Diikuti dengan diorama lainnya dan diakhiri dengan peristiwa Pertempuran Surabaya, 10 November 1945, yang begitu heroik dan oleh pemerintah RI diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Tidak ada satu pun kalimat yang menyinggung peranan umat Islam di dalam deret diorama pertama ini. Padahal, ini salah satu contoh saja, pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dicetuskan oleh Deklarasi Jihad para ulama se-Jawa pada bulan Oktober 1945 untuk bertekad mengusir penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia.

Peranan Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Suroboyo dengan pidato jihadnya di depan corong RRI Surabaya, dengan berkali-kali memekikkan takbir "Allahu Akbar" hingga bergema di angkasa Kota Pahlawan itu juga sama sekali tidak disinggung. Padahal nyaris seluruh arek-arek Suroboyo rela berkorban jiwa dan raga karena semata-mata didasari adanya semangat jihad fi sabilillah, bukan semangat lainnya.

Dan ini bukan satu-satunya. Diorama lainnya yang juga secara hambar menggambarkan sejarah perjuangan umat Islam Indonesia adalah diorama tentang Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945. Di dalam plat kuning yang berisikan informasi secara garis besar tentang Palagan Ambarawa, tidak ada sedikit pun yang menyinggung tentang peranan para Kiai dan Pasukan Santri yang sesungguhnya merupakan pasukan inti pemukul kekuatan pasukan Inggris, wakil dari pasukan Sekutu, yang baru saja mabuk kemenangan di dalam Perang Dunia II.

Sejarawan Islam dari Bandung, Ahmad Mansyur Suryanegara, mengisahkan, "Sejarah kita tidak menuliskan dengan benar soal Palagan Ambarawa. Padahal momentum itu merupakan momentum yang sangat penting, karena ketika itulah pasukan santri yang dipimpin para kiai berhasil memukul mundur pasukan Inggris yang merupakan pasukan pemenang Perang Dunia II. Pasukan santri ini juga berhasil merebut sejumlah benteng peninggalan Belanda dan membuat Sekutu yang dipimpin Mayjen Hawthron, Panglima Divisi India ke-23, pontang-panting melarikan diri menuju kapal-kapal perang mereka yang bersandar di pelabuhan Semarang. "

Sebuah buku berjudul "Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya" melukiskan suasana pertempuran saat itu: "Ambarawa memerah bagain lautan api. Sambil terus mundur, musuh membakari rumah-rumah penduduk. Pasukan Sekutu terus dilabrak pasukan kita sampai lari keluar kota…. "

Kedahsyatan Pertempuran Ambarawa ini kemudian oleh TNI Angkatan Darat dijadikan sebagai Hari Infanteri. Sebuah hari kebangaan dari korps yang dikenal di dunia sebagai The Queen of the Battle, Ratu Medan Tempur, yang memiki makna sebagai penentu kemenangan dalam setiap pertempuran. Kemenangan di Ambarawa-lah yang kemudian menaikkan tokoh religius Soedirman, mantan ustadz Muhammadiyah, sebagai Panglima Tentara Republik Indonesia (TRI). Sejumlah tokoh juga naik namanya berkat Ambarawa yakni Ahmad Yani, Pranoto, dan Soeryosoempeno.

Kedahsyatan Palagan Ambarawa juga tercermin dalam laporan pihak Inggris yang menulis: "The battle of Ambarawa had been a fierce struggle between Indonesian troops and Pemuda and, on the other hand, Indian soldiers, assisted by a Japanese company…." Yang juga ditambahi dengan kalimat, "The British had bombed Ungaran intensively to open the road and strafed Ambarawa from air repeatedly. Air raids too had taken place upon Solo and Yogya, to destroy the local radio stations, from where the fighting spirit was sustained…"

Sayang beribu sayang, oleh sejarah resmi yang beredar sekarang, Palagan Ambarawa dianggap sebagai kesuksesan tentara semata, menghapus peran ribuan laskar santri dan para kiai yang sesunguhnyalah berperan besar dalam pertempuran ini. Monumen dan Museum Palagan Ambarawa saja yang didirikan di kota yang berhawa sejuk itu, 35 kilometer selatan Semarang, pada tahun 1973-1974 juga tidak menyinggung fakta sejarah ini.

Dalam tulisan kedua, kita akan menengok Museum Waspada Purba Wisesa, sebuah gedung bertingkat yang masih terletak di areal Museum ABRI Satria Mandala. Di Museum ini, umat Islam Indonesia digambarkan tidak lebih dari seorang teroris. Diorama pertama saja sudah menggambarkan penghilangan tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, yang digambarkan dengan penuh kesyukuran. Padahal, peristiwa ini tidak lebih sebagai bentuk pengkhianatan. Tidak lebih. (Bersambung/Rizki Ridyasmara/eramuslim)


Galery Museum Satria Mandala

Museum Waspada Purba Wisesa
Setelah 'menengok' Museum ABRI Satria Mandala, kita akan mengunjungi Museum Waspada Purba Wisesa, sebuah museum kecil yang menempati dua lantai dari sebuah gedung berlantai lima yang masih berada di dalam areal Museum ABRI Satria Mandala.

Museum ini, sesuai dengan namanya, merupakan sebuah 'situs peringatan' kepada bangsa ini agar tidak melupakan aneka pemberontakan terhadap negara. Terdiri dari puluhan diorama yang menggambarkan hal tersebut.

Dalam satu artikel yang dimuat Harian Sinar Harapan (2003) berjudul "Museum TNI dan Polri, Obyek Wisata Pemerintah", museum ini dikatakan sebagai, "Isinya berupa fakta sejarah tentang gerombolan pengacau dan juga gambaran bangsa Indonesia yang Pancasilais. Meskipun berkesan propaganda dari Pemerintah Orde Baru, namun buat informasi sejarah masih layak digunakan. "

Siapa yang dimaksud dengan istilah 'Gerombolan Pengacau'? Pertanyaan ini seakan dijawab dengan deretan diorama yang ada. Begitu kita memasuki pintu utama, diorama yang pertama menampilkan peristiwa dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945. Secara atraktif, bahkan norak, dengan memakai lampu sorot yang berkedip-kedip berwarna merah, terdapat tulisan, "…dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. " —yang kemudian diberi tanda silang.

Hal ini seolah mengatakan bahwa dihapusnya tujuh buah kata tersebut merupakan sebuah kemenangan bagi bangsa Indonesia, yang berhasil menghapuskan Islam dari nafas legal-formal kenegaraan dan kebangsaan, sehinga Republik Indonesia berdiri di atas dasar sekularisme.

"Padahal, dihapuskannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945 itu merupakan sebuah pengkhianatan founding fathers kita terhadap cita-cita kemerdekaan, yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah, dengan perjuangan di bawah gemuruh takbir Allahu Akbar dan semangat jihad fisabilillah!" tegas KH. Firdaus AN.

Peristiwa pengkhianatan para founding fathers negara ini terhadap amanah rakyatnya sendiri digambarkan dengan begitu jumawa dan tanpa perasaan malu sedikit pun. Diorama ini nyata-nyata telah menafikkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan umat Islam. Padahal, tanpa perjuangan umat Islam, tak kan pernah ada sebuah negara bernama Republik Indonesia.

Diorama-diorama selanjutnya berisi aneka peristiwa pemberontakan yang kebetulan dilakukan atas nama Islam seperti Komando Jihad dengan peristiwa Woyla, DI/TII, Kahar Muzakar, Daud Beureueh, peledakan Candi Borobudur, pemberontakan Yon 427 yang terdiri dari mantan Laskar Sabilillah dan Hisbullah, dan sebagainya.

"Di museum-museum kita, perjuangan umat Islam Indonesia dihapuskan begitu saja, sama sekali tidak pernah dianggap ada. Jika pun ada maka hal itu hanya terkait dengan peristiwa pemberontakan atau terorisme. Ini yang harus diubah," papar ZA. Maulani.

Resolusi Jihad para ulama yang kemudian meletus menjadi peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Palagan Ambarawa yang dipimpin oleh ribuan laskar santri di bawah komando para ulama, tingginya religiusitas seorang Jenderal Soedirman yang setiap pidato dan surat-suratnya senantiasa diawali dengan takbir Allahu Akbar dan sarat mengutip ayat-ayat jihad dari Al-Qur'an, dan sebagainya, semua itu dihapuskan dari catatan sejarah negeri ini.

Seolah-olah Indonesia bisa merebut kemerdekaan dan mempertahankannya dari gempuran pasukan Sekutu pemenang Perang Dunia II hanya berbekal bambu runcing dan kalimat 'Merdeka atau Mati'! Hal ini sangatlah naïf.

Mudah-mudahan, seiring dengan berjalannya waktu, penulisan sejarah kita bisa diluruskan dan diperbaiki. Hitam katakan hitam, dan putih katakan putih. Jangan seperti sekarang, di mana banyak koruptor malah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, dan banyak para pahlawan yang sesungguhnya dimakamkan di areal pemakaman umum. Itu pun banyak yang kemudian digusur karena ahli warisnya tidak sanggup membayar pajak dan retribusi makam.

Letnan Jenderal (Purn) ZA. Maulani wafat pada hari Selasa, 5 April 2005. Namun keinginannya, meluruskan sejarah tentang perjuangan umat Islam Indonesia, semoga dilanjutkan generasi muda bangsa ini. Amien. (Rz/Tamat/eramuslim)

Ada baiknya anda baca
Sejarah Penghianatan para Founding Father di

http://swaramuslim.com/galery/sejarah/index.php


LINK

http://id.wikipedia.org/wiki/Z.A._Maulani

http://aroengbinang.blogspot.com/2007/04/museum-in-jakarta.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Palagan_Ambarawa

http://students.ukdw.ac.id/~22022819/rw01_palagan.html

http://www.tni.mil.id/news.php?q=dtl&id=674

http://ms.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Pertahanan_Indonesia

http://wisata-ungaran.com/images/obyek%20wisata/palagan%20ambarawa/palagan-ambarawa.htm

http://www.seansspot.com/Album/gallery.php?name=java_monumen_palagan_ambarawa