Minggu, 16 Desember 2007

Fwd: [Republika Online] Dulu Pejuang, Kini Tukang Becak




16 Agustus 2007
Dulu Pejuang, Kini Tukang Becak
uki/ant

Perjuangan Marjani (77 tahun) warga Ronggomulyo, Tuban, Jatim, menumpas pejajah di Indonesia seakan tenggelam bersama waktu. Setiap hari ulang tahun kemerdekaan negeri ini diperingati, seperti yang bakal berlangsung besok, jasa Mardjani seakan menguap begitu saja. Hingga kini dia juga tak pernah mendapat pengakuan dari pemerintah sebagai pejuang revolusi meski telah berusaha mengurusnya.

Pria yang mengaku dalam Agresi Militer Belanda II tergabung dalam pasukan Kodam Mulawarman, Kaltim, ini pernah mengidamkan status veteran pejuang dari pemerintah. Untuk mendapatkan status itu, pada 1986 dia pergi ke markas Kodam V/Brawijaya. Waktu itu, dia sangat berharap agar keterlibatannya dalam perjuangan merebut kemerdekaan bisa meringankan beban hidup yang kini ditanggungnya.

''Saat itu, saya membawa pakaian, atribut pejuang, dan surat-surat penghargaan dari berbagai kesatuan militer yang pernah saya terima,'' kata Mardjani saat ditemui Republika di pangkalan becak dekat pasar Kelurahan Ronggomulyo belum lama ini, Dia berharap, berbagai atribut dan bukti tersebut bisa membantu memuluskan keinginannya.

Namun, menurut dia, hanya Satya Lentjana Wira Dharma yang diakui dan bisa untuk diajukan sebagai bukti dia sebagai veteran pejuang. Hanya, karena lencana penghargaan tanpa foto pemiliknya tersebut dikeluarkan Kodam Mulawarman di Kaltim, dia disuruh ke sana untuk mendapat persyaratan administrasi pengusulan veteran pejuang. Biaya pengurusan tersebut harus ditanggungnya sendiri.

''Karena tak punya biaya, saya tak mengurusnya,'' tutur pria yang mengaku miliki keahlian bongkar pasang sejumlah jenis senjata tersebut. Biaya yang diperlukan untuk bisa ke Kaltim baginya tentulah sangat besar.

Karena begitu sulitnya mendapatkan status sebagai veteran pejuang, Mardjani akhirnya frustrasi. Kini, dia tak lagi berharap mendapatkan status tersebut. Selain bakal kesulitan mendapatkan persyaratan administrasi dari Kodam Mulawarman, ketiga mantan komandannya juga telah tiada (meninggal). Mereka adalah Peltu Aksin, Danyon 501 Kodam Mulawarman; Lettu Takrun, Danki 518, juga di Kodam Mulawarman; serta Lettu Middin, komandan 503 di Gunung Sari, Surabaya.

Kalaupun surat keterangan dari Kodam Mulawarman didapatkan, dia tak akan bisa mendapatkan keterangan lisan maupun tertulis dari komandannya terkait keterlibatannya dalam perang revolusi. Padahal, keterangan ini juga merupakan persyaratan penting dalam pengusulan status veteran pejuang. Kenyataan itu menjadi faktor terbesar yang membuat Mardjani menjadi tidak lagi bersemangat mengurus keperluan yang diperlukan supaya dia bisa berstatus sebagai veteran.

Karena tak lagi berharap status veteran pejuang, sejumlah dokumen penghargaan militer yang dulu begitu dibanggakan kini tak diurus. Satu per satu penghargaan itu pun rusak dimakan rayap. Sebagian lagi hilang tak jelas rimbanya. Begitu juga pakaian militer dan kelengkapan seragam lainnya. ''Sebagian seragam tersebut saya berikan orang lain,'' kata kakek yang mengaku juga pernah terlibat dalam operasi pemberantasan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar itu. Dia merasa, berbagai benda itu sekarang tidak lagi memberi banyak arti bagi kehidupannya.

Satu-satunya penghargaan yang masih tersisa adalah surat tanda penghargaan yang dikeluarkan Menteri Koordinasi Kompartemen Pertahanan dan Keamanan Kasat Angkatan Bersenjata, Djenderal TNI AH Nasution. Dalam surat penghargaan bertanggal 10 November 1965 bernomor 29664 tersebut, Mardjani disebutkan berpangkat pembantu dengan Nrp 716. Atas penghargaan itu dia berhak mendapatkan Satya Lentjana Wira Dharma. Selain berupa dokumen tertulis, penghargaan tersebut juga berupa lencana segi lima berbahan kuningan dengan tulisan prasasti Wira Dharma.

Lencana tersebut selalu disimpan Mardjani dalam dompetnya. Dia berharap lencana tersebut bisa membantunya bila dalam kondisi terjepit atau berurusan dengan instansi sipil/militer. Hanya itu sisa-sisa asa yang masih dimiliki Mardjani. Bisa jadi, lencana pejuang tersebut juga memberi kenangan tersendiri. Menurut dia, hanya keikhlasan yang membuat dia kini hidup bisa tenang. Pria yang tak lulus sekolah rakyat (SR) itu mengaku justru bisa menikmati hidup meski harus rekoso (bekerja berat) di hari tuanya.

Sekarang, pria yang masih terlihat sehat dan energik itu tinggal bersama istri keduanya di sebuah rumah di Jalan Karimun, Perumahan Mondokan Santoso. Rumah ini milik sebuah keluarga yang diikutinya. Kegigihan mencari nafkah dengan berprofesi sebagai seorang tukang becak hingga di usianya yang sudah uzur, 77 tahun, dijalaninya untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Kalau ada sisa dari pekerjaannya sebagai tukang becak, dia manfaatkan sebagai uang jajan bagi tiga cucu dari anak kedua yang diasuhnya. Dia tak mau merepotkan empat anaknya yang sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing.


Berita ini dikirim melalui Republika Online http://www.republika.co.id
Berita bisa dilihat di : http://www.republika.co.id/Cetak_detail.asp?id=303571&kat_id=3